Konsekuensi Berumahtangga dan Makna “Meninggalkan” dan Bersatu “Daging”
Perempuan dibuat dari Bagian
Laki-Laki bukan Laki-Laki dibuat dari Bagian Perempuan.
Shalom
saudara-saudariku yang terkasih dalam Tuhan Yesus, pada kesempatan ini kita
akan membahas mengenai kasih dalam rumahtangga, perlu kita ketahui bersama jika
keluarga merupakan bagian dari hidup manusia laki-laki dan perempuan untuk
bersatu dalam kehidupan rumah tangga yang suci karena telah diberkati Tuhan
dengan tumpangan tangan hamba Tuhan, ada beberapa hal yang dapat diuraikan melalui
pembahasan renungan kali ini :
Pada
awalnya manusia itu seorang diri hal ini diuraikan pada Kejadian 2 : 18 : “ TUHAN
Allah berfirman :”Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”.
Pada
firman ini mengandung arti jika manusia mula mula yang ciciptakanNya merupakan bukti
wujud kasihNya kepada kehidupan sehingga manusia pertama bernama Adam
dijadikanNya seperti itulah kehendak Allah lalu Dia memberkati manusia
(Kejadian 1 : 26- 28) (Kejadian 2:6), Pemahaman ini tentu menunjukkan begitu
mulianya manusia diciptaka segambar dengan rupa Allah Sang Maha Pencipta, pada
mulanya, pemahaman ini merupakan wujud manusia dank arena berkat Tuhan lah saat manusia
dijadikan maka Tuhan menjadikan manusia itu berkenan kepadaNya. Pada Kejadian 2
: 21-23 diingatkan bahwa manusia telah diberikan pendamping yang sepadan dengannya,
arti sepadan disini adalah memiliki kemampuan dan kekuatan yang hamper sama dan
karena perempuan dilahirkan karena diambilkan dari rusuk laki-laki maka ia
menjadi bagian dari manusia laki-laki, gambaran kemuliaan Allah sesungguhnya
bukan ada pada perempuan tetapi pada laki-laki namun demikian laki-laki dan
perempuan diberkati oleh berkat Tuhan dalam karya penciptaanNya, hingga arti
pemersatuan antara laki-laki dan permpuan adalah seperti pada Kejadian 2 : 24
:” sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Pada pemahaman ini menyiratkan bahwa laki-laki itu bukan secara HARFIAH
meninggalkan ayah dan ibunya tetapi hal ini mengandung makna dan arti jika
laki-laki itu akan memperisteri perempuan untuk menghasilkan keturunan dan
makna meninggalkan ayah dan ibunya (laki-laki) tentu saja bermakna membentuk
keluarga sendiri bukan secara nyata meninggalkan ayah dan ibu dari laki-laki,
kata “meninggalkan” dari ayat tersebut memiliki pemahaman bahwa laki-laki itu
menjadi dipisahkan karena memiliki kehidupan sendiri dengan perempuan
(isterinya), dipisahkan disini adalah
laki-laki tersebut telah memiliki pendamping dan artinya laki-laki (suami) dan perempuan
(isteri) itu akan membentuk keluarga sendiri yang dibentuk karena pernikahan
dengan makna “bersatu” pada ayat diatas, artinya pihak ayah dan ibu dari
laki-laki telah menjadikan laki-laki itu menjadi pemimpin (bagi) dari seorang
perempuan karena bukan laki-laki yang dijadikan dari perempuan tetapi perempuan
dijadikan oleh laki-laki, banyak pemahaman keliru jika makna “meninggalkan”
disalah artikan keluar meninggalkan ayah dan ibu dari seorang laki-laki tetapi
maknanya lebih luas dan mendalam yakni memperistri peremppuan dan menjadi
keluarga sendiri, tentu saja seorang laki-laki tetap untuh terhadap bagian
keluarga ayah dan ibunya tetapi telah memiliki pendamping yakni perempuan, banyak pihak menafsirkan jika
“meninggalkan” ayah dan ibu dari laki-laki adalah mengikuti isteri atau
keluarga (orang tua) isteri tentu saja konsep ini keliru karena yang menjadi
imam adalah laki-laki bukan perempuan (isteri), laki-laki- tidak menjadi bagian
perempuan TETAPI perempuan menjadi bagian laki-laki sebagai pendamping (isteri).
Banyak konsep pemikiran yang melawan kehendakNya dan sengaja dibangun agar
menimbulkan arti dan maksud tertentu dengan membiaskan kehendak firman Tuhan, apalagi
pemahaman yang tak bernalar sering di munculkan karena biasanya konsep berpikir
perempuan dianggap penting ( konsep duniawi ) oleh karena perkembangan dan
perubahan jaman tidak mau diatur seperti yang (diharuskan) tertulis dialkitab
malahan perempuan era sekarang lebih suka untuk mengkritik pendampingnya jika
dianggap memiliki kekurangan pikirnya perempuan yang kaya atau dari keluarga
kaya serta berpendidikan lebih tinggi atau yang memiliki jabatan diatas kaum
laki-laki kemudian biasa dan bisa memperalat (lebih mudah) laki-laki dengan
memakai ayat ini, pemelintiran ayat ini sangat menyesatkan dan bertujuan
mengingkari kehendak Allah jika perempuan harus tunduk kepada laki-laki
(suaminya) karena Tuhan hal ini pula karena kehendak pribadi perempuan yang
ingin (berkecenderungan) mengatur laki-laki karena kekayaan atau jabatan
perempuan atau hal duniawi lainnya yang dibanggakan oleh perempuan sehingga
merasa diri diatas laki-laki tentu ini adalah suatu konsep dan pemikiran yang
keliru, sebab bagaimanapun juga isteri harus tunduk kepada suami sebab dengan
itu sama halnya ia berbakti kepada Tuhan, sekalipun sulitnya mengikut suami
(laki-laki) tetapi hal ini menjadi kewajiban isteri untuk mengikut suami
sebagai wujud takut akan Allah.
Tidak
pernah ada kehendakNya yang memerintahkan agar laki-laki tunduk dan patuh
kepada perempuan karena itu bukan maksud dan kehendakNya, perempuan dijadikan
hakekatnya untuk menjadi pendamping yang setia bagi laki-laki sehingga tidak
ada laki-laki yang diperintah perempuan oleh karena kehendak Allah atau
tertulis dalam firman Tuhan, justru laki
laki yang harus selalu diikuti isterinya kemanapun suami berada/ tinggal
termasuk memilih tetap tinggal dengan keluarga/ orang tua laki-laki (suami)
BUKAN suami mengikuti isteri, tidak ada larangan dari firman Tuhan yang
menyatakan tidak boleh menetap bersama orang tua laki-laki (suami) karena isteri yang tunduk kepada suami
bukan suami yang tunduk kepada isteri dengan arti lain seharusnya istri
mengikuti dan tunduk kepada suami dan dimana suami berada istri harus ikut dan
setia melayani suami seperti melayani tuannya hal ini seperti tertulis pada Kejadian 18: 12 dimana Sara menganggap
Abraham sebagai tuannya demikian istri dalam hal ini seperti Sara diberkati
karena sikapnya yang taat dan melayani Abraham sebagai imam dan tuan demikian
dapat dilihat kesalehan Sara mengikut Abraham sebagai pendamping yang setia
bagi suaminya, karena dengan demikianlah Tuhan dipermuliakan.
Apapun
alasannya tentu tidak dapat dibenarkan perempuan (isteri) memimpin laki-laki
(suami) karena jabatan, kekayaaan, pendidikan atau pengaruh orang tua
perempuan, tetapi laki-laki diciptakanNya menjadi pemimpin bagi perempuan
karena laki-laki adalah wakil Tuhan didunia (Efesus 5:23). Pemahaman keliru
yang tidak boleh dibiarkan secara terus menerus, jelas kekeliruan ini harus
diluruskan dan tidak boleh dipandang enteng karena biasanya pemahaman jika
laki-laki adalah meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan isterinya
adalah pemahaman yang sering disalah artikan jika perempuan menjadi pemimpin
bagi laki-laki sehingga bukan lagi laki-laki menjadi imam tetapi laki-laki
menjadi penurut dari perempuan, konsep ini sangat bertentangan dengan kehendak
dan karya penciptaan manusia (laki-laki) mula-mula yang dijadikanNya segambar
dengan wujud dan rupa Allah karena manusia laki-laki merupakan gambaran dan
rupa Allah maka seperti itu pula kedaulatan laki-laki sebagai pemimpin yang
bukan hanya dipatuhi tetapi lebih dilayani.
Laki-laki
(suami) meninggalkan orang tuanya dan menjadi satu daging dengan perempuan
(isterinya) bukan berati TIDAK BERPISAH
meninggalkan orang tua laki-laki tetapi laki-laki telah memiliki perempuan
sebagai teman yang sepadan dan laki-laki menjadi pemimpin perempuan demikianlah
laki-laki harus tetap berbakti kepada orangtuanya dan tetap menjadi bagian
keluarga orang tuanya dalam kemah orangtua laki-laki.
Perubahan Etika karena Melawan
Kehendak Allah serta Makna “Meninggalkan” dan Satu “Daging”
Dewasa
ini banyak karena keadaan atau situasi kondisi perempuan lebih muncul entah
karena kelebihan jabatan, pekerjaan atau kekayaan yang dimikili baik secara
pribadi maupun karena warisan keluarga, atau karena keluarga perepmuan yang
lebih berada (secara finasial/ materi) dibanding pasangannya, hal ini sering
membuat ayat tuhan dipelintir dan dengan pemahaman sudut pandang ayat tersebut
maka dapat diuraikan jika perempuan tetap harus menjadikan laki-laki pemimpin
dan tuan bagi perempuan tidak boleh serong dalam hidupnya serta perempuan harus
taat kepada suaminya entah karena perempuan itu sedang dalam situasi diatas
kehidupan lak-laki atau tidaknya, perempuan diciptakan bukan yang pertama kali
tetapi yang kedua setelah laki-laki dan perempuan dibuatNya karena diambilkan
dari laki-laki yakni tulang rusuk laki-laki tentu pemahaman keliru jika
laki-laki “meninggalkan” ayah dan ibunya bukan dimaknai laki-laki menjauhi ayah
dan ibunya untuk bersatu dengan isterinya tetapi lebih dimaknai laki-laki
menjadi terpisah karena adanya perempuan yang diperisterinya meskipun tetap
hidup dalam keadaan bersama dengan ayah dan ibu laki-laki tersebut, pemahaman
iniu tentu saja adalah yang dikehendaki Tuhan agar laki-laki menjadi “satu
daging” menurunkan keturunan dari bersatu “daging” nya laki-laki dan perempuan
dalam pemberkatan yang kemudian disebut :
Pemahaman
dan konsep “meninggalkan” dan bersatu “daging” dapat dijelaskan sebagai berikut
:
-
Pemahaman Pertama adalah perkawinan suci dihadapan Tuhan;
-
Pemahaman Kedua yakni
“meninggalkan” harus dipahami seperti halnya laki-laki telah “memiliki” perempuan
sebagai isteri dan menjadi imam bagi perempuan;
-
Pemahaman Ketiga yakni pemahaman
bersatu “daging” adalah meneruskan keturunan.
Tentu
konsep yang keliru jika disebutkan “meninggalkan/ bersatu daging” adalah
seperti halnya laki-laki harus meninggalkan ayah dan ibunya untuk mengikut
perempuan sebagai isterinya karena laki-laki tidak diciptakan untuk perempuan
tetapi perempuan dibuatNya sebagai teman yang sepadan. Tidak ada konsep yang
membenarkan jika suami tunduk kepada isteri dan hidup meninggalkan ayah ibu
laki-laki dan hidup dengan perempuan atau orang tua perempuan karena konsep
seorang suami adalah satu bagian yang tetap dan satu konsep laki-laki sebagai
kepala bagi isterinya dan perempuan (isteri) tidak berkuasa untuk mengatur
suami selain menghormatinya karena Allah.
Laki-laki
yang telah bersatu “daging” dengan perempuan yang kemudian disebut isterinya
itu tentu saja satu bagian tersendiri yang tersendiri, tersendiri disini bukan
berarti menjauhkan diri dari orang tua laki-laki tetapi lebih menjadi satu
bagian tersendiri karena telah dipersatukan dalam “satu daging” pernikahan,
konsep ini sering dipahami secara keliru jika laki-laki harus memisahkan diri
dari ayah dan ibunya untuk bersatu dengan isterinya karena bukan suami yang
mengikuti isteri tetapi isteri yang bersatu dengan suaminya meskipun demikian
hubungan laki-laki dengan ayah dan ibunya tetap utuh walau tetap tinggal dan
bersama-sama hidup laki-laki serta isterinya dengan orang tua laki-laki karena
konsep “meninggalkan” orang tua laki-laki bukan konsep menjauhkan/ memisahkan
diri tetapi sekali lagi bahwa suami telah menjadikan perempuan pendampingnya,
dan laki-laki sebagai pemimpin perempuan, sehingga laki-laki tidak sendiri lagi
karena telah ada pendampingnya yakni perempuan (Efesus 5 : 24).
Laki-laki sebagai Kepala
bagi Perempuan
Pada
Efesus 5 : 22-24 :” Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,
karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.
Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada
suami, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu”.
Pada
pemahaman ayat tersebut diatas tentu laki-laki merupakan kekhususan dimata
Tuhan, laki-laki menjadi kepala itu karena kehendak Tuhan seperti pada 1
Korintus 11: 8-9 :” Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi
perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena
perempuan tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki.
Pemahaman
ini tentu menjadi pondasi dan dasar kehidupan Kristen, umat pengikut Allah
harus taat dan memahami jika kehendak Tuhan adalah yang utama jika laki-laki
adalah kepala bagi perempuan dan perempuan tentu harus menghormati laki-laki
karena Kristus.
Pada
para kehidupan para nabi seperti Abraham dan Sara, Ishak dan Ribka, Yakub dan
Lea, dicontohkan kehidupan laki-laki dan perempuan yang saleh dan hidup selalu
mengutamakan kehendakNya, tidak pernah dijelaskan jika para perempuan
memerintah laki-laki karena gambaran Allah telah nyata pada laki-laki,
demikianlah kemudahan dan kasihNya sungguh luarbiasa bagi umatNya yang taat
kepadanya, sejak perempuan diperistri oleh laki-laki, seperti halnya pada
firman Tuhan pada Kejadian 11:27-32 dikisahkan Abram dan Sarai (isterinya)
mengikuti Terah (orang tua Abram) kemana Terah berkehendak karena memang saat
itu kehidupan tidak selalu menetap disauatu daerah tertentu melainkan
berpindah-pindah tempat dan sesuai kehendak Tuhan hendak diperintahkan kemana.
Laki-laki
memiliki otoritas dalam hidupnya sebagai gambaran kemuliaan Allah jika
laki-laki telah disatukan oleh ikatan perkawinan dalam Tuhan maka sulit untuk
dipisahkan pula oleh keinginan manusia, laki-laki dan perempuan disatukan dalam
Allah yang kemudian disebut perkawinan merupakan tolak balik inti jika manusia
menjalankan kewajibannya semula untuk beranakcucu dan bertambah banyak demikian
perintah ini sama dengan kehendak Tuhan untuk mempersatukan laki-laki dan
perempuan untuk mengasihiNya.
Hakikat
Tuhan memperstukan laki-laki dan perempuan adalah kehidupan yang damai jika
laki-laki memiliki teman / pendamping yang sepadannya yakni perempuan, hidup
dalam kasih dan kebersamaan, perkawinan merupakan symbol penyerahan diri untuk
dipersatukannya laki-laki dan perempuan untuk hidup suci yang tidak cemar
dihadapanNya.
Dasar
pemersatu antara laki-laki dan perempuan ialah kasih bukan cinta yang sering
disebutkan oleh manusia jaman sekarang, karena dalam kasih mengandung banyak
pengorbanan (1 Korintus 13:1-13), pemahaman utuh dan menyeluruh mengenai kasih
sejati ialah bagaimana mewujudnyatakan kasih dalam perkawinan antara laki-laki
dan perempuan, namun demikian laki-laki diberi prioritas dan kekhususan untuk
memiliki perannya sebagai pemimpin bagi perempuan dan keluarganya termasuk
anak-anaknya, seperti dijelaskan pada Efesus 5:22-25, pemahaman yang menyeluruh
tentang hakikat perkawinan ialah seperti Efesus 5:33 yakni hidup dalam penuh kasih
pada perkawinan.
Perkawinan
suci dihadapan Tuhan terjadi saat laki-laki dan perempuan memilih untuk
menyerahkan dihadapan Tuhan untuk disatukan dalam kasihNya, tentu karena dasar
perkawinan ialah Kristus maka dalam Perkawinan harus mengandung kasih dan
penyerahan serta hikmat dan tuntunanNya bukan karena dirinya sendiri atau atas
kehendak pihak lain. Laki-laki tetap mengambil peranan penting sebagai pemimpin
perempuan dan pemegang otoritas rumah tangga, jika ada pihak lain diluar
laki-laki dan perempuan seperti adanya pengaruh keluarga tentu hal ini sangat
mempengaruhi kehidupan rumah tangga laki-laki dan perempuan untuk bersatu dan
hidup dalam rumahtangganya.
Tuhan
menghendaki segala sesuatu itu baik adanya, sering kita dipertanyakan dalam kehidupan
perkawinan pada mulanya harus didasarkan kasih dan tentu kerelaan
masing-masing. Kehidupan perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak mudah
setelah pasangan mempelai (laki-laki dan perempuan) mengarungi hidup bersama
diperlukan kesungguhan, kesetiaan dan kerelaan untuk saling mengasihi dalam
perjalanan perkawinannya, kedewasaan dan cara piker rumahtangga bukan
ditentukan dari lamanya atau seberapa kokohnya perkawinan mempelai, seperti
halnya kekayaan, jabatan dan kehebatan masing-masing individu, baik laki-laki
maupun perempuan tetap harus bersatu pemikiran dan kehendak untuk menjalani
hidup berumahtangga dengan setulus hati, tentu buah pemikiran sendiri dan tanpa
adanya campurtangan pihak lain seperti orang tua maupun keluarga kedua belah
pihak mutlak agar kehidupan rumahtangga dapat terbentuk dengan sendirinya.
Tiada
jaminan jika kekayaan dan kemapanan serta pekerjaan yang mapan menjadi tolak
ukur keberhasilan pernikahan karena banyak pula orang yang telah memiliki
segalanya dalam hidup menjadi terbengkelai mengenai rumahtangganya karena dalam
rumahtangga ada campurtangan pihak lain ataupun pengaruh orang tua dan keluarga
lainnya, jika rumahtangga tidak mampu menghadapi kerasnya persoalan konflik
keluarga maka tidak sedikit gelombang badai menyerakkan biduk rumahtangga yang
telah terbangun dari pernikahan, memahami pendamping itu perlu karena
pendamping merupakan teman sepadan yang telah dipersiapkan dan diberi Tuhan
agar kita damai dan penuh sukacita dalam setia kepadaNya,sikap isteri sebagai
teman yang sepadan laki-laki menjadi peran penting dalam kehidupan rumahtangga
jika isteri diberikan kesempatan untuk membantu perekonomian keluarga maka
jangan sampai karena suami belum bekerja, belum mampu mencukupi kebutuhan
keluarga atau belum bisa menjadi bagian pemenuh kebutuhan hidup lalu istri
menjadi tidak setia dan lebih bersikap cuek atau tidak lagi mau menghargai
suaminya sebagai kepala keluarga, isteri yang baik adalah isteri yang tulus
iklhas mengasihi suami dalam kondisi apapun dan hal ini sangat sulit diterapkan
karena mengasihi tanpa akhir, suami sebagai kepala keluarga selalu mendorong
istri untuk ikut ambil bagian dalam pelayanan kasih dalam rumahtangga karena
terkadang berkat Tuhan dilimpahkan kepada isteri manakala suami telah berupaya
keras menjadi pondasi keluarga namun belum mampu mencukupi kebutuhan hidup
sehingga peran istri yang setia selalu ada untuk suami dalam mempertahankan
rumahtangga dalam kasih, istri yang mengasihi suami adalah istri yang
senantiasa diberkati Allah.
Mempertahankan
biduk rumahtangga dikala situasi rumahtangga memburuk merupakan suatu keharusan
bagi suami isteri, tidak benar jika suami dan istri saling menyerang bahkan
mengumbar kekurangan mereka masing-masing dalam kehidupan keluarga orang tua
atau keluarga sekalipun keluarga orang tua masing-masing hendak ikut campur
didalamnya, kasih merupakan kekuatan utama dalam mengarungi kehidupan
rumahtangga sering camputangannya keluarga masing masing pasangan membuat
segala-sesuatu menjadi runyam dan justru memperburuk keadaan sehingga hal ini
menjadi batu bersoalan baru yang akan dihadapi suami atau diteri yang sedang
bermasalah, tuntunan Tuhan melalui 1 Korintus 7: 5 :”